rasanya kurang pas tampa marjinal di blog ini hehehe,walo gw sangat
telat dari yang laen tapi yang terpenting adalah argument tentang
artikel ini bisa sampai,khususnya tentang punk dari sudut pandang
marjinal,karena secara visual gw belon pernah ketemu ma mereka,tapi dari
pola pikir logika tentang punk ada persamaam di antara kami!!
berikut ini gw kopipes dari www.koran-marjinal.blogspot.com
tentang kehidupan sehari-hari mereka di komunitas,dan sudut pandang mereka tentang punk!
Pengantar Editor:
Agustus yang lalu, majalah TRAX membuat laporan utama “The Story So Far:
30 Years of Punk Rock”. Farid Amriansyah, reporter Trax, mengajukan
beberapa pertanyaan kepada Marjinal lewat e-mail, yang jawabannya kami
kira berhak diketahui publik secara utuh.
- agak klise, tapi bisa cerita bagaimana marjinal terbentuk?
Bob OI: Marjinal dibentuk 11 tahun yang silam, pada 22 Desember —
bertepatan dengan Hari Ibu di kalender nasional. Sebelas tahun yang
lalu, kite ketemu di sebuah kampus grafika di Jakarta Selatan. Awalnya,
gue pengen kuliah, tapi makin lama semakin nggak tertarik. Apa yang
dipelajari di kampus udeh kita kuasai, gue udah gape menggambar, bikin
desain, demikian juga yang laen. Kebanyakan kita ketemu ngobrolin
situasi di luar kampus, yang atmospherenya represif, nggak bebas
mengeluarkan pendapat atau berekspresi. Lalu kita bangun sebuah jaringan
namanya Anti Facist Racist Action (AFRA), yang terlibat adalah
kawan-kawan yang mempunyai kesadaran melawan sistem yang fasis banget.
Kita gunakan media visual, lewat poster dari cukil kayu, baliho dan
lukisan yang menggugah kesadaran generasi muda, untuk melawan sistem
fasis yang diusung Orde Baru. Selain melakukan diskusi, penerbitan
newsletter, dan aksi turun ke jalan… Kita secara kebetulan gape juga
main musik. Ya, dengan modal gitar n jurus tiga kunci, kita maen musik,
bikin lagu sendiri yang berangkat dari kenyataan hidup sehari-hari.
Mike Marjinal:Lalu kita namakan kelompok itu Anti Military. Dalam
perkembangannya, Anty Military dipahami orang-orang sebagai sebuah band
akhirnya… Padahal kita bukan anak band! Musik ini kan sebagai alat
komunikasi kepada khalayak yang lebih luas, lebih asyik.. medium
menyampaikan pesan dan jadi inspirasi untuk anak-anak di pergerakan ke
depan, ketika melihat kenyataan kehidupan sosial-politik dikangkangi
rejim yang fasis militeristik. Dari awal, kesadaran kita bukan sebagai
anak band.
Setelah Harto digulingkan, kita melihat dimensi yang lebih luas lagi.
Persoalannya bukan lagi rejim yang fasis dan rasis saja. Tapi lebih luas
lagi… Negeri ini jadi negeri ngeri… Banyak tragedi, perang saudara,
buruh-buruh diperas, dieksplioitasi, rumah sakit dan pendidikan begitu
komersial, kereta-api sebagai sarana angkutan melayani orang seperti
mengangkut binatang. So dari sistem yang fasis, anti demokrasi, terpusat
dan korup.. kini menyebar ke sendi-sendi kehidupan bangsa. Kita lupa
bagaimana para pejuang dulu mendirikan Indonesia sebagai sebuah nation.
Indonesia kan didirikan sebagai kesatuan dari tekad para pemuda yang
beragam suku, agama, latar belakang sosialnya itu bersatu membangun
sebuah nation! Lalu kita ganti nama, dari Anti Military jadi Marjinal.
Kisahnya, ketika Mike dapat nama Marjinal, dia terinspirasi oleh nama
pejuang buruh perempuan yang mati disiksa militer,” Marsinah..Marsinah…
MARJINAL” Kata Marjinal sendiri waktu itu kan belum banyak dipakai untuk
menjelaskan posisi orang-orang pinggiran.
- marjinal mengangkat beragam isu sosiopolitikdalam lirik kalian. Bisa cerita
apa misi kalian sebagai band?
Mike Marjinal: Lagi-lagi harus kukatakan dari lubuk hati yang dalam,
cieee: “Kita bukan anak band”. Sejak kita membangun AFRA kita memang
punya kesadaran melawan sistem politik kotor di negeri ini, khususnya
melawan ideologi fasis militeristik rejim Orba. Sejak menjadi Marjinal,
kita kembali ke tengah masyarakat, belajar dari keseharian mereka
sekaligus jadi inspirasi bagi lagu-lagu yang kita ciptakan. Lirik-lirik
iitu kan mengangkat persoalan tetangga, kawan dan masyarakat kita. Kita
cuma asal comot apa yang menjadi gelisahkan. Kita cuma jadi cermin, yang
merefleksikan segala yang dirasakan masyarakat. Kita selama
bertahun-tahun, di kolektif TaringBabi, hidup di tengah kampung Setu
Babakan. Awalnya, mereka was-was melihat penampilan kita yang sangar,
tapi lama kelamaan masyarakat merasa senang, karena kita ikut
gotong-royong, membuat acara Agustusan, workshop sablon dan segala
keterampilan cetak-mencetak. Setiap hari, puluhan anak-anak punk dari
daerah mana aja datang ke TaringBabi, tapi masyarakat tidak lagi
was-was. Pernah gue dengar ibu-ibu bilang,”Anak-anak itu rambutnya aja
yang aneh, tapi hatinya baek….” Ibu-ibu juga nggak takut melihat tato,
yang penting hatinya kagak bertato!
Dari sini kita kan bisa melihat hidup yang berwarna-warni, kita rayakan
perbedaan dengan damai. Band Marjinal itu kan salah satu usaha kita
berkomunikasi dengan masyarakat. Album atau kaset yang kita rilis secara
indie juga diniatkan untuk membangun komunikasi. Kita nggak nyangka,
Marjinal didengar sampai Pulau Siladen nun jauh di Sulawesi Utara sana.
Ketika kita diundang main untuk scene punk Manado, kawan-kawan dari
Kotamubagu datang, itu kan letaknya di pedalaman. Bayangkan, mereka
datang jalan kaki. Ketika ketemu gue, ada yang langsung buka baju
memperlihatkan tato bertuliskan Marjinal. Gue terharu, sekaligus bangga
dengan semangat persekawanan ini…
Bob OI: Kita maen di mana aja, tidak untuk scene punk doang. Acara ulang
tahun, perkawinan, peluncuran buku… Bahkan Mike sering bilang, acara
apa pun kita main, ini ruang untuk berkomunikasidan silaturahmi,
memperluas kesadaran kita sebagai nation, usaha kita saling belajar dan
bekerja sama-sama. Pernah seorang guru, namanya Pak Sukri, dari STM YZA,
Ciawi nyari-nyari alamat kita, nyasar ke sana-kemari, niatnya
mengundang kita main untuk acara sekolahnya, karena murid-muridnya minta
Marjinal main untuk acara perpisahan. Ditawari band lain, mereka nggak
mau. Sebelum main, kita selalu membuat work-shop cukil kayu (wood cut).
Mereka sangat antusias mencetak kaos polos dengan desain cukil kayu.
Kalau ada waktu, kita bisa main di mana saja, asal kebebasan kita enggak
dibelejeti. Karena dari kebebasan itu kita ada. Kebebasan yang mengatur
diri kita sekaligus respect dengan kebebasan orang lain.
- Arti punk buat kalian?
Bob OI: Kita bikin desain kaos: Pemuda Urakan Nan Kreatif (PUNK). Ya,
itulah tafsir kita untuk punk walau kata itu muncul pertama di Inggris
dari sebuah karya William Shakespeare, The Marriage of Lady Windsor
.Sebagai sub-kultur, Punk berkembang tahun 80-an. Punk sebagai gerakan
mengunggulkan rasa toleransi dan kebebasan. Punk, sebagai sang pemula,
yang pertama meneriakkan ketidakadilan dan perlawanan terhadap sistem
yang korup.
-Apa arti menjadi politikal bagi kalian?
Mike Marjinal: Berusaha terlibat dengan realitas, melawan sistem yang
korup, dan berusaha melakukan perubahan yang lebih baik dari hal yang
terkecil, teman, keluarga, tetangga, dst.
-bagaimana kalian menjalankan etos dan prinsip yang tumbuh dan berkembang
dalam punk rock seperti konsep D.I.Y hingga beragam bentuk kesadaran
sosiopolitikal dalam keseharian baik secara personal maupun sebagai band?
Mike Marjinal: Do It Yourself itu kan sesuatu yang ideal, sehingga kita
mampu berjalan di kaki sendiri, nggak tergantung dengan sistem yang
nggak berkeadilan. DIY, sebenarnya kan sudah ada dalam etos perlawanan
dalam budaya kita. Suku Samin di Jawa Tengah dan sekitarnya itu sudah
DIY, membuat peradabannya sendiri ketika daerah-daerah lain ditindas
kolonial Belanda. Mereka menanam benih, memanen dan membuat rumah secara
bersama untuk kebutuhan bersama. DIY harus dilihat dalam konteks
seperti itu di sini. Kita kan nggak harus copy-paste DIY yang ada di
England sono, yang ditafsirkan hanya anti ini dan anti itu. Menurut gue
sih, DIY itu bertolak dari Kebebasan. DIY itu bukan aturan dan aturan,
seperti menolak media mainstream, TV, sponsor, dlsb. Semua hal harus
dilihat hubungan sebab dan akibatnya, bukan cuma slogan anti ini dan
anti itu: anti TV nasional sini tapi nongol di TV asing dengan alasan
solidaritas internasional. Ini sih cipoa! Gue prihatin dengan kondisi
kayak gini. Sudah lama scene punk nggak pernah mendiskusikan hal-hal
yang mendasar seperti ini. Ayo kita bicara, dengan argumen yang cerdas.
Tahun lalu, sebuah televisi swasta nasional meminta Marjinal sebagai
nara sumber untuik sesi acara bertajuk Punk. Kru TV datang ke kita,
bertanya ini dan itu dan membuat liputan kegiatan sehari-hari di
kolektif TaringBabi. Ya, kita menerima dengan terbuka dan apa adanya.
Tapi sebelum acara itu ditayangkan, Marjinal disembur fitnah yang keji,
dianggap tidak DIY karena bekerjasama dengan media mainstream…Blaut!
Kita jadi narasumber bukan untuk promosi album atau ngomong tentang isi
perut band, tidak! Jadi, semua itu harus dilihat konteksnya, hubungan
sebab dan akibatnya. Kalau kita kerja kita dapat duit, tapi kalau kita
diundang main band, coba aja tanya yang ngundang, kita nggak pernah
memberatkan tuan rumah. Paling-paling cuma dapet ongkos balik, sekedar
makan-makan bareng sedunia ha..ha..ha..
Selama ini, kita hidup bukan dari band. Kita bertahan hidup dan
menjalankan aktivitas dari karya yang kita jual. Desain, sablon kaos,
kaset,atau nyari duit di luar. Gue kadang ngajar atau dapat kerjaan
menggambar di sekolah-sekolah. Gue melukis potret. Ableh selain nyablon
juga ngojek. Begitulah kenyataannya… Lagi-lagi harus ogut bilang, “Kite
bukan anak band”
-pandangan akan kondisi obyektif scene punk rock lokal sekarang?
Bob Oi: Ada yang hilang dalam scene punk sekarang: diskusi. Dulu kan
sempat banyak zine yang terbit, sekarang terbit tempo-tempo dan banyak
nggak terbitnya, kalau pun terbit materi tulisannya adalah
tulisan-tulisan yang lama, itu pun sebagian besar hasil terjemahan dari
zine luar, ya… masih copy-paste!
Implikasinya scene punk nggak pernah belajar mendiskusikan
persoalan-persoalan yang mendasar, misalnya tafsir tentang DIY di
Indonesia dalam konteks sekarang ini. Scene punk masih bergairah dengan
fashion-nya, itu yang kenceng… Padahal itu kan semua simbolis sifatnya,
yang harus diungkap menjadi sebuah pengalaman dan kesadaran. Kenapa
rambut mohawk ala Indian, misalnya, itu suatu bentuk solidaritas
terhadap suku Indian di Amerika yang tertindas dan termarjinalkan.
Mengapa punk pakai sepatu boot… Itu suatu perlawanan terhadap militer,
kita pakai atribut sepatu boot untuk nginjek lumpur jalanan pasar,
ngebersihin got, nginjek tokai! Yang kayak-kayak gitu belum dipahami…
Orientasi punk di sini masih sebatas ngeband, main musik, ngobrolnya
atau gosip=gosipnya pun masih seputar itu. Punk rock itu genre musik
titik. Sedangkan punk adalah way of life, yang ngebentuk karakter kita
untuk terus melawan terhadap sistem yang nggak berkeadilan dan mandiri:
Pemuda Urakan Nan Kreatif, yang mengedepankan kesetaraan, menolak
hirarki. Jadi nggak ada senior dan junior dalam scene punk. Semua bisa
saling belajar. Bukan saling menindas, dengan melarang ini dan itu.
Tidak ada polisi dalam scene punk. Kalau punk penuh aturan dan aturan
yang memblejeti kebebasan… Gua orang pertama yang menyatakan diri bukan
punk! Mendingan jadi nelayan di Cilincing mancing ikan di tengah laut,
nggak ada yang ngelarang!
-Seberapa besar ekspektasi kalian bahwa musik kalian bisa membawa perubahan
dalam masyarakat?
Mike Marjinal: Harapan terhadap perubahan yang diekspresikan lewat musik
selalu menggelora di jiwa kita. Ketika sistem yang menindas dan korup
ini merajalela, orang-orang kan selalu gelisah mencari katup pembebasan,
minimal lewat musik yang didengar nyangkut di hati menjadi inspirasi
untuk perubahan hidup yang lebih baik. Semua itu menjadi kesadaran yang
ngasih energi, daya hidup, agar tetap survive di tengah negeri ngeri
ini, dan bangkit untuk memperbaiki apa yang rusak atau selesai dalam
diri kita, rumah dan lingkungan kita. Musik membentuk karakter individu
yang kuat, memimpin dirinya atau rumahtangga/lingkungannya melakukan
perubahan. Dari individu-individu berkarakter inilah akan dihasilkan
kolektif yang kuat saling berbagi dan menolong yang lemah atau miskin.
Kemiskinan kita kan tidak alamiah. Bayangkan Indonesia kan kaya, tapi
kenapa kita miskin? Karena individunya lemah. Kita terlalu asyik
bergerombol nonton orang ngeduk kekayaan Indonesia, kita lebih senang
ongkang-ongkang dapat komisi 10 persen, yang kemudian diributkan.
Hentikan itu semua! Ayo, kerja! Kalau kita kerja, niscaya karakter kita
kuat! Sukarno dulu sering bicara tentang Berdikari, berdiri di kaki
sendiri. Jauh sebelum DIY dikumandangkan di England sono!
Marjinal peduli dengan nation ini. Kita berusaha menulis lirik dalam
bahasa Indonesia, karena kita peduli dengan nation ini, ingat Sumpah
Pemuda. Awalnya, banyak yang mencibir, kok band punk liriknya pake
bahasa Indonesia! Musik bagi kita kan salah satu jalan untuk
berkomunikasi. Liriknya harus dipahami orang Indonesia dong. Musiknya
boleh aja gado-gado, mau gambang kromong kek atau pake calung seperti
Punk Lung dari Cicalengka, itu sangat kreatif, Atau terpengaruh geberan
band-band punk sono, tapi lirik harus bahasa Indonesia walaupun nggak
harus benar dan baik seperti yang dislogankan pemerintah. Musik itu
selain enak didengar, untuk senang-senang tapi harus punya tujuan yang
jelas yang diungkapkan lewat pesan yang memberi inspirasi untuk
masyarakat. Kita meniru jejak Benyamin S. Semangat bang Ben serta
perjuangannya, kita ambil. Terlepas genre musiknya, Benyamin.S bisa
dibilang punk sejati.
-Selain lewat musik apa aksi konkrit kalian untuk mengaplikasikan lirik dan
kesadaran sosiopolitik yang kalian sampaikan?
Bob OI: Aksi kongkrit kita, ya lebih dekat dengan masyarakat dengan
membuka ruang-ruang kreatif: bikin workshop cukil kayu di gigs, ikut
aktif dalam kegiatan gotong-royong. Bikin pelatihan keterampilan sablon,
creative-writing, teater, melukis dan berpameran di ruang-ruang publik
dan sekolah. Selain membuka ruang dialog dengan memaksimalkan media
audio-visual, kayak bikin film pendek tapi bukan pendek pikiran lho..
he..he…he… Semua itu sebagai langkah awal untuk berdialog dengan
masyarakat. Tujuannya bukan cuma hal yang politis doang, kita belajar,
berkarya, dan bekerja sama-sama. Sehingga masyarakat terlibat dalam
proses kreatif kita!
-Bagimana masyarakat disekitarnya memandang dan menerima kalian?
Mike Marjinal:Masyarakat, terutama ibu-ibu, sayang banget ama Marjinal.
Kalau kita bikin acara, ibu-ibu di Gang Setia Budi, Srengsengsawah yang
bantuin masak-masak. Ibu-ibu pun latihan bina vokalia bareng kita untuk
kegiatan panggung Tujuhbelasan. Anak-anak muda mulai belajar nyablon,
bikin tato temporer atau bikin distro di sekitar danau Setu Babakan,
daerah tujuan wisata lokal itu karena di sono ada wisata perkampungan
Betawi.
Bob OI: Pernah sekali gue bawa ransel gede lewat gang mau ke jalan raya.
Ada yang nanya mau kemana, tiba-tiba mood becanda gue kumat,”Saya mau
pindah, Bu! Kebetulan nih mau pamitan sekalian…” Ibu itu langsung
protes: gue nggak boleh pindah rumah, karena dia demen ngeliat
keberadaan punk di Gang. Setiabudi. Dia langsung narik-narik ransel gue
sambil mau nangis. Akhirnya, gue nggak tega, gue bilang sebenarnya isi
tas itu cuma kaos-kaos yang mau didistribusikan ke distro-distro, si ibu
pun baru bisa ketawa… Begitulah, kita banyak berhutang budi dengan
masyarakat di sana. Ada Babak Jaya yang sudah kami anggap orangtua, ada
Pak Maman yang punya kontrakan yang ngasih kebebasan menggunakan rumah
itu untuk aktifitas work-shop anak-anak muda, ada anak-anak TK dan SD
yang datang tiap sore latihan main jimbe, ada tamu-tamu dari Jerman
seperti Mash mahasiswi antropologi Humbolt University, Berlin yang
sedang bikin penelitian tentang komunitas punk di Indonesia, atau tamu
dari Amerika, Kanada, Prancis, dan tamu-tamu silih berganti kawan-kawan
street punk atawa punk kentrung dari Kali Pasir, Jembatan Lima, Kota,
Senen, Manggarai, Matraman, Blok M, Meruya, yang datang tukar cerita
setelah seharuian ngamen atau kawan-kawan scene punk dari daerah:
Porong, Mojokerto,Malang, Blitar, Sukabumi, Bandung, Indramayu, Makasar,
Manado, Medan, Pontianak, Ambon, Lampung, Palembang, Batam, sampai
Sorong-Papua.